Pemerintah mengaku terpaksa melanggar ketentuan UU Minerba, agar tidak tejadi kevakuman dalam industri minerba dalam negeri.
Kesepakatan PT Freeport Indonesia dengan
pemerintah untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral
(Semelter) belum juga menunjukan perkembangan yang signifikan. PT
Freeport dinilai tidak menunjukan keseriusannya atas kesepatakan yang
tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU). Demikian disampaikan Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba di Gedung DPD, Rabu (28/1).
“Sampai batas waktu kesepakatan tanggal 24 Januari 2015 yang lalu,
Freeport Indonesia belum menunjukkan kesungguhan dalam membangun
smelter. Padahal hal ini merupakan poin krusial yang menjadi landasan
pemerintah untuk mengijinkan Freeport mengekspor hasil tambangnya,”
ujarnya.
Senator asal Sumatera Utara itu berpandangan, pemerintah acapkali
melunak dengan memberikan waktu panjang kepada Freeport. Sebagaimana
diketahui, Freeport diberikan waktu selama 6 bulan kedepan untuk
mengekspor hasil tambang di bumi Cenderawasih, Papua.
Ia menilai perpanjangan waktu selama enam bulan bertentangan dengan Pasal 103 dan 107 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2014. Terhadap kesepakatan dengan perusahaan Amerika Serikat itu, DPD meminta pemerintah menghentikan MoU tersebut.
Ia pun mendesak agar pemerintah meninjau ulang kontrak karya dengan
Freeport yang bakal berakhir tahun 2021 mendatang. “Bila perlu
perpanjangan cukup 10 tahun saja. Seharusnya semelter akan lebih
strategis dan efisien apabila dibangun di Papua,” katanya.
Ahmad Mawardi menambahkan, tindakan yang dilakukan dengan memperpanjang
waktu enam bulan sebagaimana tertuang dalam MoU melanggar UU Minerba
dan Batubara. Ia berpandangan semestinya pertengahan 2014 lalu sudah
dibangun smelter di Papua. Sayangnya, Freeport tak juga membangun
smelter di Papua.
“Sekarang Freeport minta perpanjangan lagi selama 6 bulan. Itu artinya sudah menghianati pemerintah Indonesia,” katanya.
Anggota DPD dari Jawa Timur itu mengatakan, pemerintah mesti tegas
dalam bersikap. Misalnya, pemerintah menegur Freeport agar menepati
kesepakatan yang sudah disepakti, bukan sebaliknya meminta perpanjangan
waktu. “Jangan hanya tegas pada perusahaan-perusahaan kecil, tetapi juga
perusahaan besar.Kalau tidak dikhawatirkan akan terjadi masyarakat di
Papua akan marah,” ujarnya.
Anggota DPD asal Papua, Mesak Merin berpandangan persoalan Freeport
masih menjadi masalah besar di Papua. Ia menilai perpanjangan waktu
enam bulan untuk melakukan ekspor merupakan kebijakan yang tidak
berpihak pada masyarakat Papua. Hal itu menunjukan betapa pemerintah
tidak menunjukan keseriusan dalam membangun masyarakat Papua.
“Kalau perlu Freeport ditutup jika pembangunannya tidak berpihak pada rakyat Papua. Kami dari DPD RI mendukung itu,” katanya.
Ia mendesak Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan persoalan Freeport
yang bertahun-tahun mengambil sumber daya alam Papua. Ia mengancam
bakal mengerahkan masyarakat Papua untuk menutup Freeport. Hal lainnya,
ia meminta pembangunan Smelter tidak dibangun di tanah Jawa, tetapi di
tanah Papua.
“Kami minta Presiden untuk berdialog dengan perwakilan masyarakat di
Papua. Jangan hanya melalui media massa saja. Smelter itu harus dibangun
di Papua, kalau memang Pemerintah ingin membangun Papua,” pungkasnya.
Akui Melanggar
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), R. Sukhyar, mengakui pihaknya telah melakukan
pelanggaran hukum. Ia mengatakan, pemberian izin ekspor konsentrat
kepada PT Freeport Indonesia telah menabrak ketentuan dalam UU No.4
Tahun 2009. Namun, Sukhyar mengaku pihaknya punya alasan.
Lebih lanjut Sukhyar menegaskan, kementeriannya memiliki pertimbangan
yang menjadi dasar untuk bersikap melanggar UU Minerba. Ia
mengungkapkan, pemerintah memilih langkah itu lantaran tak mau ada
kevakuman dalam industri minerba di dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, Pasal 170 UU Minerba mengatur bahwa terhitung
lima tahun setelah diundangkan, tak boleh lagi ada aktivitas ekspor
konsentrat. Dengan demikian, 11 Januari 2014 menjadi tonggak waktu bagi
pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan ekspor konsentratnya. Akan
tetapi, pada kenyataannya justru tidak demikian.
"Tantangannya kan begini. Ini pilihan kita, apa mau stop Izin Usaha Pertambangan dan Kontrak Karya," kata Sukhyar.
Ia mengaku memahami mandat undang-undang bahwa semua kontraktor harus
menghentikan kegiatan ekspor konsentratnya. Hanya saja, jika hal itu
dilakukan maka menurut Sukhyar akan terjadi kecakuman industri minerba
di tanah air. Oleh karena itu, pemerintah pada akhirnya tetap memberikan
izin bagi pelaku usaha untuk mengekspor konsentrat, termasuk kepada
Freeport.
"Bahwa itu tidak sesuai UU kita sadar. Ini kan dilematis diambil sikap
oleh pemerintah. Kan seharusnya berhenti. Kenapa tidak diambil kan
celaka kalau semua harus dihentikan. Kevakuman terjadi sementara memang
kita tidak siap menyiapkan perangkat, apalagi kenyataannya membangun
smelter energinya tidak ada," tambahnya.
Sukhyar juga menyebutkan produksi Freeport dan Newmont baru sebesar 30
persen yang murni di dalam negeri. Begitu juga pada pemegang IUP lain
yang belum selesai melakukan pemurnian dan pengolahan sesuai batas waktu
yang ditentukan.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar