Pengadilan diminta membatalkan MoU yang dibuat pemerintah dengan
Freeport. Pemerintah tak akan mengeluarkan Perppu terkait perpanjangan
izin ekspor Freeport.
Para pengacara yang menamakan diri Tim
Pengacara Trisakti dan Nawacitamendaftarkan gugatan terkait izin ekspor
PT Freeport Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/2).
Pengacara tersebut merupakan kuasa hukum penggugat yang mengajukan citizen law suit,
yaitu Arif Poyuono, Haris Rusly, Kisman Latumakalita, dan Iwan Sumule.
Dalam gugatan yang terdaftar dengan nomor registrasi
50/PDT.GBTH.PI.W/2015/PN.JKT.PST, Presiden Jokowi, Menteri ESDM Sudirman
Said, dan PT Freeport Indonesia menjadi pihak-pihak tergugat.
Arief Puyono mengatakan, Presiden dan Menteri ESDM telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena menerbitkan izin ekspor kepada Freeport.
Sebab, izin tersebut berlawanan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mewajibkan
seluruh hasil bumi dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu, izin ekspor yang diberikan melalui nota kesepahaman telah
mengusik rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
"Gugatan ini kami daftarkan sebagai bentuk penegakan hukum dan UU yang
sah secara konstitusional dan akan ketidakmengertian sikap Presiden
Jokowi dan pengkhianatan Trisakti dan Nawacita dengan mengizinkan
Menteri ESDM Sudirman Said menandatangani nota kesepahaman perpanjangan
ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia," ujar Arief usai mendaftarkan.
Menurut salah satu tim pengacara, Habiburokhman, pemberian izin
tersebut telah menciptakan diskriminasi bagi perusahaan tambang
nasional. Ia mengatakan bahwa pemerintah memberikan perlakuan istimewa
kepada Freeport. Terlebih lagi, perlakuan istimewa itu melanggar UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"Sebagai perusahaan tambang terbesar, seharusnya Freeport Indonesia
tidak mengalami kesulitan membangun smelter, terlebih waktu yang
diberikan UU sangat layak yaitu lima tahun sejak UU tersebut
diundangkan," kata dia.
Oleh karena itu, dalam gugatan Habiburokhman mengungkapkan bahwa
petitum utamanya adalah meminta majelis hakim untuk membatalkan nota
kesepahaman yang telah dibuat oleh pemerintah dengan Freeport.
Ia juga meminta pembatalan seluruh perizinan dan produk hukum lainnya
yang memberikan izin ekspor meskipun belum memiliki smelter di
Indonesia. Tak hanya itu, pihaknya juga meminta majelis hakim memberikan
putusan sela selama perkara ini ditangani.
“Kami meminta hakim melarang adanya aktivitas pengerukan maupun ekspor selama belum ada kekuatan hukum yang tetap," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM
R. Sukhyar menganggap gugatan terhadap nota kesepahaman antara
pemerintah dengan Freeport Indonesia adalah hal biasa. Namun, dirinya
menegaskan bahwa apa yang menjadi dasar gugatan itu tak benar. Pasalnya,
apa yang telah dilakukan pemerintah tidak melanggar secara hukum.
Sukhyar menekankan, Izin ekspor yang diterbitkan untuk Freeport
memiliki landasan hukum. Ia menyebut, acuan kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014
dan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014. Menurutnya, penerbitan
kedua aturan hukum tersebut tersebut juga tidak melanggar UU Minerba.
“Latar belakang penerbitan PP dan Permen tersebut juga untuk
menghindari adanya kerugian yang lebih besar jika kegiatan usaha atau
pun pertambangan dihentikan. Negara boleh ambil sikap untuk tidak
kerugian lebih besar. Di mana melanggar Undang-Undang daripada
mudaratnya lebih besar kami kasih kesempatan. Yang penting mineral
mentah tidak boleh ekspor sampai 2017,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, pemerintah tak akan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait izin Freeport itu. Hal ini
karena batas waktu ekspor mineral mentah adalah tahun 2017. Menurutnya,
waktu dua tahun itu tak lama lagi sehingga tak menimbulkan keadaan
darurat untuk mengeluarkan Perppu.
“Tidak perlu keluarkan Perppu. Kan 2017 sebentar lagi,” pungkasnya singkat.
hukumonline.com
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar