Permasalahan cinta memang terkadang
menjadi sebuah hal yang pelik tatkala hinggap pada muda-mudi yang merasa
sudah cukup umur, utamanya bagi sekelompok orang yang sudah paham
agama, sudah istiqomah ngaji dan enggan ikut arus mainstream
dengan budaya pacaran. Maka tak ayal jika topik tentang cinta ini
menjadi sebuah topik yang cukup sakral di kalangan mereka, seakan bahan
ngobrol dan guyonan terasa hambar jika topik cinta ini tak masuk ke
dalam bahasan. Seolah ada pelampiasan yang melegakan ketika perbincangan
sudah mengarah ke masalah cinta apalagi sampai masuk ke ranah tentang
pernikahan.
Memang kalau bicara cinta afdholnya
adalah juga bicara tentang pernikahan. Mengapa? Karena memang begitulah
agama Islam ini mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan kesucian
cinta itu dengan benar. Cinta tanpa pernikahan adalah omong kosong.
“Kalau anda cinta ya nikahilah!”, begitulah mungkin yang acapkali kita
dengar dari sebagian orang. Mereka memegang teguh prinsip, “Seseorang
yang membiarkan pasangannya menunggu terlalu lama, sesungghnya dia itu
tidak cinta!”. Dari pernyataan-pernyataan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa orang-orang pada umumnya adalah memegang kaidah “menikahi orang
yang dicintai”.
Lantas, bagaimana Islam memandang hal
ini? Apakah menikah terlebih dulu harus dilandasi oleh rasa cinta?
Bagaimana dengan kalimat kebalikannya, “mencintai orang yang dinikahi” ?
Sungguh beruntung diri kita terlahir
sebagai seorang muslim. Islam mengajarkan kepada kita banyak hal,
termasuk perkara hati yang di dalamnya tumbuh benih rasa cinta. Menikahi
orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi, manakah yang
lebih afdhal?
Menikahi Orang yang Dicintai
Kalimat ini bermakna bahwa cinta harus
tumbuh terlebih dahulu sebelum pernikahan. Allah sebagai Tuhan yang
menciptakan manusia telah mengerti hal ini. Firman Allah SWT,
Dari dalil ini kita menyepakati bahwa
memang menikahi seseorang yang disukai/dicintai ini adalah sah menurut
agama, bahkan sangat dianjurkan. Dan salah satu cara menumbuhkan cinta
sebelum pernikahan adalah dengan melihat calon pasangan yang akan
dinikahi. Sesungguhnya agama Islam telah mensyariatkan nadhor
(melihat calon pasangan) sebelum seorang lelaki menikahi seorang wanita.
Berdasarkan hadits dari sahabat Abu Humaid Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila kalian melamar seorang
wanita, tidak ada dosa baginya untuk me-nadhar-nya, jika tujuan dia
melihatnya hanya untuk dipinang. Meskipun wanita itu tidak tahu.”
(HR. Ahmad & At-Thabrani)
(HR. Ahmad & At-Thabrani)
Syariat nadhor ini sangat
dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab dengan melihat
calon pasangan akan dapat menimbulkan rasa cinta dalam hati yang
nantinya akan melanggengkan pernikahan. Lelaki atau perempuan yang
menikahi seseorang yang dicintai, yang dia menyukai raut wajahnya
sehingga mampu menyejukkan pandangannya maka hal ini adalah lebih
dianjurkan karena akan menjadi salah satu faktor terciptanya
keharmonisan pernikahan. Hal ini tentu berbeda dengan seseorang yang
menikahi pasangannya mungkin karena dia ada perasaan tidak enak dengan
keluarganya, atau karena dia ragu-ragu atau mungkin karena sesuatu hal
lain yang membuat dia terpaksa, maka hal ini kurang baik karena
dikhawatirkan di tengah jalan pernikahan akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia
memilih wanita yang menyenangkan parasnya agar hatinya lebih tentram
serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah)
kepadanya akan semakin sempurna, oleh karena itu disyari’atkan nadhar (melihat calon istri) sebelum dinikahi.”
Lantas bagaimana dengan sebuah hadist
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan bahwa wanita itu
dinikahi karena empat hal, maka nikahilah wanita karena agamanya niscaya
seseorang itu akan mendapat kebahagiaan?
Baiklah, agar lebih mudah, marilah kita
artikan kata cinta dengan sebuah kata kecenderungan. Dan kecenderungan
itu bisa disebabkan karena banyak hal, bisa karena parasnya, bisa karena
harta atau kedudukannya, bisa juga karena agamanya. Namun di sini
beberapa ulama’ lebih menekankan agar menikahi seseorang yang ada
kecenderungan terhadapnya. Artinya jika ada seorang laki-laki/perempuan
yang hendak menikah dengan calon pasangannya yang baik agamanya namun
dia tidak ada kecenderungan terhadap calon pasangannya tersebut maka dia
boleh dan berhak untuk menolak atau tidak melanjutkan proses menuju
pernikahan karena memang tabiat manusia yang berupa
kecintaan/kecenderungan terhadap calon pasangan ini telah mendapatkan
tempat dalam syariat agama Allah SWT.
Mencintai Orang yang Dinikahi
Kalimat ini bermakna bahwa seseorang
menikah dulu barulah mengusahakan rasa cinta kepada pasangannya. Dalam
sebuah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Cintailah kekasihmu sewajarnya saja
karena bisa saja suatu saat nati ia akan menjadi orang yang kamu benci.
Bencilah sewajarnya karena bias saja suatu saat nanti ia akan menjadi
kekasihmu.” (HR. Al-Tirmidzi).
“Sesungguhnya orang-orang yang saling
mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti terlihat seperti bintang yang
muncul dari timur atau bintang barat yang berpijar. Lalu ada yang
bertanya, “siapa mereka itu?, “mereka itu adalah orang-orang yang
mencintai karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad)
Dari teks hadits tersebut terlihat
dengan jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
umatnya untuk berkasih sayang dan saling mencintai terhadap pasangan
yang telah dinikahinya. Karena sebagaimana telah kita ketahui bahwa
pernikahan merupakan sebuah ibadah yang teramat mulia hingga dikatakan
sebagai penggenap separuh agama. Di dalam pernikahan terdapat banyak
sekali maslahat untuk kedua pasangan yang saling mencintai karena Allah
SWT.
Dalam realita kehidupan terkadang
seseorang dipertemukan dengan calon pasangan yang awalnya dia tidak ada
perasaan cinta kepadanya. Tak ada kecenderungan, semua perasaan terasa
datar. Tak terlalu suka namun juga tak membenci. Dia hanya melihat bahwa
calon pasangan yang ditawarkan kepadanya tersebut adalah baik agama dan
perangainya, matang usianya, serta mapan kehidupannya. Secara masa
depan, nalurinya mengatakan bahwa dia adalah calon pasangan yang baik.
Namun itu tadi masalahnya, dia masih tidak cinta.
Akhirnya, opsi untuk lebih mempercayai
keimanan dan janji dari Allah SWT lebih ia pilih daripada memperturutkan
perasaannya yang mendambakan seseorang yang dicintainya. Dia yakin
bahwasanya Allah akan memudahkan setiap langkah hamba-Nya yang
senantiasa ikhlas menjalani segala perintah-Nya. Bagi dia yang
terpenting adalah kesamaan komitmennya dalam memegang teguh ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelahnya ia akan pasrahkan segala kehendak
hanya kepada-Nya. Alhasil, tak sedikit orang-orang dengan pillihan ini
yang akhirnya mendapatkan sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah
tangganya. Maka benarlah firman Allah SWT,
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“ (Q.S. Ar Ruum : 21)
Dari ayat tersebut telah jelas
mengisyaratkan bahwa Allah menciptakan pasangan adalah untuk
menentramkan hati setiap hamba-Nya yang bertakwa. Dan dari dua
penjabaran ini telah kita dapatkan bahwa agama islam telah memerintahkan
untuk mengelola rasa cinta kita dengan benar. Yang terpenting adalah,
lakukan semuanya karena Allah. Jika niat anda sudah benar, maka
selanjutnya tergolong yang manakah anda? Menikahi orang yang anda cintai
atau mencintai orang yang anda nikahi?
Wallahu a’lam bisshowwab.[]*bersamadakwah
0 komentar:
Posting Komentar